Kesalahfahaman Dari Arti Jihad Sesunggunya

 
Terorisme Berkedok Jihad
Aksi-aksi terorisme yang marak belakangan ini, banyak yang dianggap oleh pelakunya sebagai jihad. Sasaran teror mereka tidak lepas dari 2 sasaran : 
  1. Orang-orang kafir yang berada di negeri ini secara mutlak. Alasannya mereka beranggapan bahwa memerangi setiap orang kafir yang ada di negeri ini adalah jihad fi sabilillah.
  2. Orang-orang yang berada di pemerintahan, termasuk kepolisian dan militer. Alasannya mereka dianggap sebagai orang kafir yang keluar dari Islam karena mendukung sistem pemerintahan yang tidak Islami.
Namun realitanya, seluruh masyarakat adalah korban teror dari aksi-aksi terorisme mereka. Dan tidak sedikit kaum muslimin yang tumpah darahnya disebabkan aksi mereka. Mereka pun merampok dan mencuri harta dari orang-orang yang mereka anggap musuh, sebagai fa’i (rampasan perang), untuk membiayai jihad fi sabilillah. Mereka menganggap semua itu perbuatan jihad yang mulia.

Dalam masalah memerangi orang kafir di negeri ini, mereka telah melanggar larangan mengganggu orang kafir mu’ahad dan orang kafir musta’man. Kafir mu’ahad adalah yang sedang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin untuk tidak saling menyerang. Sementara kafir musta’man adalah yang masuk ke negeri muslim lalu dijamin keamanannya oleh penguasa Muslim. Nabi bersabda, “Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak mencium wangi surga. Padahal wangi surga tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari 3166). Jadi syariat Islam mengatur ada orang kafir yang wajib diperangi dan ada yang terlarang untuk diperangi. Tentunya dengan tetap membenci kekafiran yang ada pada mereka dan membenci orang kafir karena kekafiran mereka.

Jihad memerangi orang kafir memang amalan yang mulia. Namun hal tersebut menjadi amalan yang mulia di sisi Allah jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at, bukan serampangan menurut interpretasi masing-masing orang. Sebuah pemahaman yang bagus diajarkan sahabat Nabi, Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu’anhu. Hudzaifah Ibnul Yaman berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma : “Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap ridha Allah lalu terbunuh ia akan masuk surga? Abu Musa menjawab: ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya: ‘Tidak demikian. Jika ia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap ridha Allah dan menaati aturan Allah, lalu terbunuh, barulah ia masuk surga‘” (Sunan Sa’id bin Manshur 6/69, shahih).

Dengan demikian, apa yang dilakukan para teroris tersebut adalah terorisme dan tidak layak disebut jihad. Kemudian, memvonis kafir orang-orang Muslim yang berada di pemerintahan atau perangkat-perangkatnya dengan alasan sistem pemerintahan yang diterapkan tidak Islami adalah sebuah kesalahan. Karena vonis kafir terhadap seorang Muslim itu perkara berat. Berhukum dengan selain hukum Allah hukumnya dirinci oleh para ulama, sebagaimana Al Qur’an juga merinci orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, ada yang kafir, ada yang zhalim, dan ada yang fasiq. Dan bisa jadi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah melakukannya karena ia tidak tahu atau adanya syubhat yang membuatnya bingung. Intinya, vonis kafir dalam masalah ini sangatlah berat dan berbahaya. Ditambah lagi, vonis kafir bukanlah hak setiap orang, akan tetapi haknya para ulama.

Nabi sendiri pernah shalat ghaib untuk Raja Najasyi yang wafat dalam keadaan beriman padahal hukum yang diberlakukan di negeri yang ia pimpin belum berdasarkan syariat Islam. Lebih lagi Nabi bersabda: “Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya, dan yang terakhir adalah shalat” (HR. Ahmad 21583, shahih). Hadits ini jelas menyatakan bahwa ketika tali Islam yang pertama sudah putus dalam diri seseorang, yaitu ia tidak berhukum pada hukum Islam, ia masih bisa disebut Islam. Di sini Nabi tidak mengatakan bahwa ketika tali pertama putus, maka kafirlah ia. Bahkan masih ada tali-tali yang lain hingga yang terakhir adalah shalatnya. Singkat kata, serampangan dalam memvonis kafir kaum muslimin dalam masalah ini adalah sebuah kesalahan yang fatal dan merupakan manhaj kaum Khawarij.

Sebab Munculnya Terorisme Berkedok Jihad

Adanya terorisme di tengah masyarakat Islam yang mengganggu stabilitas keamanan negeri, tidak lepas dari maraknya maksiat dan juga keengganan penduduk negeri untuk menjalankan ajaran agama. Kemudian, Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Tetap Penelitian dan Fatwa Islam) Saudi Arabia memaparkan bahwa sebab-sebab munculnya terorisme berkedok jihad adalah:
  1. Kengganan untuk menerapkan syariat Allah, baik secara individu, masyarakat, maupun negara
  2. Ghuluw, melampaui batas dalam menerapkan ajaran agama.
  3. Salah paham dalam memahami ajaran agama
  4. Dihalangi-halanginya dakwah sunnah yang menjelaskan agama dengan pemahaman yang benar

Menanggulangi Terorisme Berkedok Jihad

Lajnah Daimah Saudi Arabia juga menyarankan beberapa poin untuk menanggulangi terorisme:
  1. Bekerja keras untuk menyebarkan dan menerapkan ajaran Islam yang benar kepada seluruh individu, masyarakat maupun perangkat-perangkat pemerintahan.
  2. Menuntut ilmu agama secara bertahap dan memulai dari yang dasar, yang dilandasi oleh Al Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman salaful ummah.
  3. Menyatakan dengan tegas dan terang-terangan untuk memerangi terorisme.
  4. Menjelaskan kepada masyarakat tentang istilah-istilah dan kaidah-kaidah syar’i sejelas-jelasnya hingga tidak ada peluang bagi orang zhalim dan penggemar kerusakan untuk menyalah-gunakannya.
Previous
Next Post »